Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Kebenaran Lebih Berhak Untuk Dilaksanakan

Sabtu, 01 Oktober 2011

Target Setan Dalam Menyesatkan Manusia

Materi Khutbah Iedul Fitri di Lapangan Mancasan, Gulon, Salam, Magelang

Jumat Legi 1 Syawal 1431 H

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنسْتعِينُهُ وَنسْتغْفِرُهُ وَنعُوذ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنفُسِنَا وَمِنْ سَيّئاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ..
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون}
{يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا}
أما بعد…فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَديثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُورِ مُحْدَثاَتِهَا وَكُلَّ مُحْدَثــَةٍ بدْعَةٌ وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَلةٌ وَكُلَّ ضَلاَلةٍ فيِ النَّارِ.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد،

Suatu hal yang patut kita patrikan ke dalam lubuk hati kita yang paling dalam bahwa sebaik-baik perkataan adalah apa yang dikatakan oleh Allah dan sebaik-baik petunjuk hidup, petunjuk dalam berislam dan beribadah kepada Allah adalah petunjuk yang telah digariskan oleh Rasulullah. Hal yang paling jelek dalam agama adalah ajaran agama yang baru. Itulah ajaran agama yang tidak dikenal oleh Rasulullah dan para shahabat. Segala hal yang dianggap sebagai ajaran Islam namun tidak dikenal oleh Nabi dan para shahabatnya baik berupa akidah atau keyakinan yang baru maupun ibadah atau tata cara ibadah yang baru, itulah yang disebut dengan bid’ah dalam agama. Segala bentuk bid’ah adalah jalan yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus. Sedangkan semua jalan yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus adalah jalan yang berbahaya karena jalan tersebut hanya akan mengantarkan pelakunya ke dalam panasnya api neraka.

Kaum muslimin-rahimakumullahu-
Memuncak terasa kegembiraan kita di pagi hari ini, suara takbir, tahlil, dan tahmid membahana di udara, mengisi relung-relung hati kita, bahkan mengiringi desah nafas dan degub jantung kita.

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah,
Semenjak tenggelamnya matahari kemarin sore tiba sudah waktu buka kaum muslimin dari kewajiban menjalankan ibadah puasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang yang menjalankan puasa itu memiliki dua kebahagiaan. Yang pertama adalah saat waktu berbuka tiba. Sedangkan yang kedua sewaktu berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyaksikan manfaat dari puasa yang dilakukan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kaum muslimin berbahagia pada saat buka bukanlah karena kita merasa merdeka dari belenggu puasa yang dianggap sangat menyiksa. Namun kita berbahagia dengan datangnya waktu buka karena kita bersyukur kepada Allah yang telah memberi kita kesempatan untuk menyelesaikan kewajiban berpuasa. Betapa banyak orang-orang di sekitar kita yang tidak peduli dengan kewajiban berpuasa dan tidak sedikit orang yang menjalankan ibadah puasa tidak bisa menyelesaikan hingga akhir Ramadhan dikarenakan ajal yang telah tiba.

Ketika hari raya iedul fitri tiba, di samping kita merasa bahagia menyelinap di hati kita perasaan sedih dan duka. Dengan berakhirnya bulan Ramadhan berarti setan-setan jin yang semula terikat akan menghidup udara bebas untuk kembalikan melanjutkan perjuangan panjang mereka untuk menyesatkan manusia-manusia untuk menjadi kawan-kawan setan dalam siksa neraka.

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Yang artinya, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali hamba-Mu yang memurnikan ibadah hanya kepada-Mu di antara mereka” (QS Shad 82-83).

Kaum muslimin yang berbahagia
Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk meningkatkan kewaspadaan. Hendaknya kita mengetahui trik-trik dan target setan dalam menyesatkan manusia. Dengan itu kita bisa membentengi diri kita dan melakukan berbagai tindakan preventif untuk menyelamatkan dari ranjau-ranjau setan.

Ada enam target yang dipasang setan untuk menyesatkan manusia.

Pertama adalah menjerumuskan manusia dalam kemusyrikan atau kekafiran. Setan mengajak manusia untuk menduakan Allah dalam ibadah. Orang yang terjebak ranjau setan ini tidak merasa cukup untuk beribadah hanya kepada Allah namun dia sisihkan sebagian waktunya untuk beribadah kepada selain Allah. Di satu waktu orang tersebut nampak demikian khusyuk beribadah, berdoa dan memohon kepada Allah. Di lain kesempatan, dia demikian khusyuk berdoa meminta-minta kepada wali yang sudah mati. Di satu waktu, dia menyembelih hewan dalam rangka taat kepada Allah semisal akikah ataupun kurban. Akan tetapi di waktu yang lain dia menyembelih ayam cemani atau kebo bule karena memenuhi permintaan jin ataupun dukun. Inilah yang disebut kemusyrikan alias menduakan Allah dalam ibadah. Inilah dosa yang tidak mungkin Allah ampuni bagi siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertobat darinya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang levelnya dibawah dosa kemusyrikan, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS an Nisa:48).
Ma’asyiral Muslimin-rahimakumullah-

Jika target di atas sulit untuk dicapai maka setan akan memasang target di bawahnya yaitu menjerumuskan manusia dalam bid’ah dalam agama baik bid’ah akidah ataupun bid’ah ibadah. Dianggap ajaran Islam padahal bukan ajaran Islam itulah yang disebut dengan bid’ah. Dianggap sebagai akidah yang diajarkan oeh Islam padaha bukan, diyakini sebagai ibadah yang diajarkan oleh Islam padahan bukan. Inilah yang disebut dengan bid’ah.

Orang yang bergelimang dengan bid’ah adalah orang yang paling merugi dalam beramal sebagaimana firman Allah,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (QS al Kafi:103-104).

Jelaslah orang yang bergelimang dalam bid’ah adalah manusia yang merugi karena dia merasa akan mendapat pahala dengan amalnya padahal dia hanya mendapatkan rasa capek saja karena amal yang dia lakukan tidaklah membuahkan pahala bahkan mendapatkan dosa. Hal itu dikarenakan melakukan bid’ah adalah suatu yang terlarang sedangkan menerjang larangan tentu membuahkan dosa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan amal ibadah namun kami tidak pernah mengajarkannya maka amal yang dia lakukan itu pastilah tertolak” (HR Muslim no 4590).

Target menjerumuskan manusia ke dalam bid’ah itu posisinya setelah kemusyrikan dan di atas dosa besar karena sebagaimana dijelaskan oleh seorang ulama besar di masa tabiin yaitu Sufyan ats Tsauri. Beliau mengatakan bahwa pelaku maksiat itu mudah bertaubat karena dia merasa bersalah. Lain halnya dengan pelaku bid’ah. Dia sulit untuk bertaubat selama dia belum merasa salah bahkan merasa beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan pahala dengan bid’ah yang dilakukannya.

Kaum muslimin-azzaniyallahu wa iyyakum-
Target setan yang ketiga adalah dosa besar. Dosa besar adalah setiap larangan yang memiliki ancaman khusus dalam syariat, boleh jadi diancam dengan neraka, murka Allah, laknat Allah yaitu dijauhkan dari rahmat Allah ataupun tidak diakui oleh Nabi sebagai bagian dari umatnya.
Oleh karena itu diantara contoh dosa besar adalah menipu sebagaimana sabda Nabi,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

“Barang siapa yang melakukan penipuan maka dia bukanlah umatku” (HR Muslim no 295).
Penipuan memiliki bentuk yang sangat beragam di zaman ini. Diantaranya mark up dalam laporan keuangan, mencontek ketika ujian, pemalsuan berkas dll.

Dosa besar itu tidak bisa terhapus dengan semata-mata gemar melakukan amal shalih semisal puasa, berwudhu dan shalat. Siapa saja yang ingin dosa besar yang pernah dilakukan terhapus dari catatan amalnya, dia harus bertaubat kepada Allah dengan penuh kesungguhan. Itulah taubat yang dilakukan ikhlas karena Allah, diiringi penyesalan, tekad untuk tidak akan lagi mengulangi perbuatan tersebut, segera meninggalkan maksiat yang telah dilakukan dan taubat ini dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan. Jika dosa tersebut terkait dengan hak sesama manusia maka wajib mengembalikan hak orang lain yang telah diambil.
Target setan berikutnya adalah menjerumuskan manusia ke dalam dosa kecil. Dosa kecil adalah segala hal yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya namun tidak ada ancaman khusus terkait dengan larangan tersebut. Dosa jenis inilah yang bisa dihapus dengan semata-mata melakukan amal shalih meski tanpa niatan bertaubat. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS Hud:114).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ « الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ».

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat lima waktu, shalat Jumat sampai shalat Jumat berikutnya dan puasa Ramadhan sampai puasa Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa yang terjadi di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi” (HR Muslim no 574).
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah,

Akan tetapi perlu diketahui bahwa dosa kecil itu bisa bernilai dosa besar jika 1)pelakunya meremehkan dosa tersebut pada saat melakukannya 2) perbuatan dosa kecil tersebut dilakukan dengan berulang kali 3) dosa kecil tersebut dilakukan di tempat umum yang bisa dilihat oleh banyak orang dan 4) dosa tersebut dilakukan oleh seorang yang seharusnya menjadi panutan bagi banyak orang.

Jika setan merasa sulit untuk menggoda manusia agar melakukan dosa baik dosa besar ataupun dosa kecil maka setan akan membuat orang tersebut sibuk dengan hal-hal yang mubah semisal banyak tidur sehingga waktu yang dia miliki untuk melakukan amal kebajikan semakin terbatas.

Jadi tidur dalam kadar yang wajar adalah sebuah keniscayaan untuk menunaikan hak badan namun hobi tidur adalah bentuk godaan setan.

Jika target ini pun sulit untuk dicapai maka setan berupaya untuk membuat manusia sibuk dengan amal-amal kebajikan yang nilainya kurang afdhol sehingga mereka meninggalkan amal yang lebih afdhol. Setan membuat orang sibuk dengan shalat sunah sehingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu agama yang hukumnya sunah. Demikianlah enam target yang dipasang oleh setan untuk menyesatkan manusia. Setelah kita mengetahuinya maka kita wajib berupaya menyelamatkan diri kita jangan sampai kita menjadi salah satu mangsa setan dengan berbagai bentuk targetnya.

Kaum muslimin yang berbahagia,
Pada hari raya Idul Fitri kita dianjurkan untuk banyak-banyak bertakbir dalam rangka mengagungkan nama Allah. Namun perlu kita sadari bahwa waktu takbir ketika Idul Fitri itu berakhir dengan berakhirnya shalat hari raya.

عن الزهري أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى ياتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة
قطع التكبير

“Dari az Zuhri, sesungguhnya yang menjadi kebiasaan Rasulullah saat berangkat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri adalah bertakbir hingga beliau tiba di tanah lapang dan hingga shalat hari raya berakhir. Jika shalat hari raya telah berakhir maka beliau menghentikan takbirnya” (HR Ibnu Abi Syaibah no 5621, sahih li ghairihi sebagaimana dalam Silsilah Shahihah no 171).

Oleh karena itu kumandang suara takbir yang masih terdengar setelah shalat hari raya Idul Fitri selesai baik di radio, televisi maupun sebagian masjid adalah takbir yang tidak pada tempatnya dan menyelisihi tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam takbir ketika hari raya Idul Fitri.
 
Terkait dengan bacaan takbir yaitu ucapan Allaahu Akbar, ba’ dalam akbar haruslah dibaca pendek karena ba’ dalam akbar dibaca panjang maka maka kalimat takbir ini berubah total 180 derajat karena akbaar dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kabrun yang artinya gendang (Kamus al Munawwir hal 1183).

Sangat disayangkan tidak sedikit orang yang kurang perhatian dengan hal ini sehingga sering terdengar suara takbir sebagai berikut:

الله أكبار الله أكبار لا إله إلا الله والله أكبار الله أكبار ولله الحمد

Orang yang mengumandangkan takbir sebagaimana di atas boleh jadi merasa sedang mengagungkan dan memahabesarkan Allah padahal yang terucap dari lisannya adalah menggendang-gendangkan Allah dan ini tentu sebuah pelecehan kepada Allah yang sangat membahayakan iman seorang muslim.
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah,

Mengenai ucapan selamat hari raya tidaklah kita jumpai bacaan khusus dari Nabi. Karenanya kita bisa mengucapkan berbagai jenis ucapan yang menunjukkan ungkapan rasa bahagia dengan datangnya hari raya selama makna yang terkandung dalam ucapan tersebut adalah makna yang baik. Meski demikian ucapan selamat yang biasa digunakan oleh para sahabat tidaklah diragukan bahwa itulah yang lebih baik dari pada selainnya.

Tentang ucapan selamat hari raya yang dipergunakan oleh para sahabat, Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan:

وَرَوَيْنَا فِي ” الْمَحامِلِيَّاتِ ” بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ ” كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك ”

Kami mendapatkan riwayat dalam kitab al Mahamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair, beliau mengatakan, “Menjadi kebiasaan para sahabat Nabi jika sebagian mereka berjumpa dengan yang lain pada saat hari raya maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain “taqabballahu minna wa minka” yang artinya semoga Allah menerima amal ibadah kita (Fathul Bari 3/372-Syamilah).

Kaum muslimin yang kami hormati,
Banyak orang memaknai Idul Fitri dengan kembali suci bagaikan bayi yang baru saja terlahir dari rahim ibu, tidak memiliki dosa sama sekali. Makna semacam ini adalah pemaknaan yang kurang tepat baik dari tinjauan bahasa Arab maupun dari tinjauan syariat. Dalam bahasa Arab, fitri itu berbeda fitrah karena diantara kelebihan bahasa Arab perubahan sedikit saja akan menyebabkan perubahan makna. Dalam bahasa Arab, fitri maknanya adalah berbuka alias tidak lagi berpuasa. Sehingga Iedul Fitri maknanya adalah kembali berbuka, kembali boleh makan dan minum dan kewajiban berpuasa sudah berakhir. Sedangkan dari tinjauan syariat sebagaimana telah dijelaskan bahwa amal shalih semisal puasa Ramadhan, shalat Tarawih itu hanya bisa menghapus dosa kecil tanpa dosa besar. Sehingga seorang yang menjalankan puasa Ramadhan dan shalat tarawih dengan baik karena ikhlas dalam beribadah dan dengan benar karena sesuai dengan tuntunan Nabi akan terhapus dosa-dosa kecilnya saja, tanpa dosa besar. Dosa besar agar terhapus pelakunya harus bertaubat kepada Allah dengan penuh kesungguhan. Memaknai Idul Fitri sebagaimana di atas sangatlah berbahaya karena bisa berakibat banyak orang yang meremehkan dosa besar. Sebelum Ramadhan tiba mereka akan memperbanyak maksiat, berzina, korupsi dan yang lainnya karena di dalam hati mereka mengatakan, “Ah nanti khan saat Idul Fitri semua dosa akan terhapus karena ketika itu kita akan kembali suci bagaikan bayi yang tidak punya dosa sama sekali”.

Kepada kaum muslimah, jagalah diri dan jangan terperdaya oleh tipu muslihat kaum pemuja syahwat. Simaklah firman Allah sebagaimana yang terdapat dalam Qs. an-Nisa’ (04): 27

{وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيمًا}

“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”

Allah Ta’ala mengajak anda ke syurga dengan jalan yang mudah yaitu dengan menerima sepenuh hati segala ketetapanNya dalam agama ini serta melaksanakan anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Auf

(( إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ ))

“Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga harga diri dan kemuliaan, serta taat kepada suaminya maka akan dikatakan buatnya masuklah ke dalam syurga dari pintu mana saja yang engkau mau.”

Kemudian kepada anda wahai para saudariku remaja putri muslimah yang mulia. Tutuplah auratmu dengan mengenakan jilbab kemuliaan dan kehormatanmu. Jangan biarkan mata yang penuh khianat dengan bebas memandang dan menikmati kecantikan tubuhmu, atau tangan-tangan jahil menodai diri dan kehormatanmu. Ketahuilah bahwa kewajiban berpakaian yang menutup aurat itu bukan hanya ketika shalat dan pengajian di masjid namun setiap kali seorang muslimah bisa diterlihat oleh laki-laki yang bukan mahram atau bukan pula suaminya.

Jangan biarkan tubuhmu seperti bunga-bunga mekar, yang siapa pun bebas melihatnya, mencium semerbak harumnya. Setelah itu memetik dan menikmatinya. Sesaat kemudian bunga itupun layu dan akhirnya dicampakkan.

Akan tetapi jadilah seperti emas, intan dan mutiara yang terlindungi dan terjaga rapi dalam kotak-kotak perhiasan. Sehingga hanya yang berhak saja yang akan menikmatinya. Ya, anda memang akan menjadi sebaik-baik dan seindah-indah perhiasan dunia ini, jika tampil sebagai wanita shalihah.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

”Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik–baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim).

رَبَّناَ لاَ تُزِغْ قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّناَ آتِناَ فِي الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذاَبَ النَّارِ. اللَّهُمَّ رَبَّناَ تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْناَ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. سُبْحاَنَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُهُ الظَّالِمُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلىَ الُْمْرسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وصَلِّ اللَّهُمَّ عَلىَ نَبِيِّناَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Jumat, 30 September 2011

Wajibnya Taat Kepada Penguasa

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844)



Penjelasan ringkas:
Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlissunnah wal jamaah, yang jika diselisihi maka akan mengeluarkan pelakunya dari ahlussunnah. Hal ini ditunjukkan oleh amalan dan ucapan para ulama salaf yang mana mereka menyebutkan permasalahan ini dalam kitab-kitab aqidah ahlussunnah yang mereka tulis.

Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam risalah Ushul As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan amirul mukminin, baik dia orang yang baik maupun orang yang jahat.”

Imam Ibnu Abi Hatim berkata dalam risalah Ashlu As-Sunnah atau dikenal juga dengan nama I’tiqad Ad-Din, “Saya bertanya kepada ayahku (Abu Hatim) dan juga Abu Zur’ah mengenai mazhab ahlussunnah dalam masalah pokok-pokok agama, dan mazhab yang keduanya mendapati para ulama di berbagai negeri berada di atasnya, dan mazhab yang mereka berdua sendiri yakini. Maka keduanya berkata, “Kami menjumpai para ulama di berbagai negeri, di Hijaz, di Irak, di Mesir, di Syam, dan di Yaman. Maka di antara mazhab mereka adalah …. Kami mendengar dan taat kepada pimpinan yang Allah serahkan urusan kami kepadanya, dan kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepadanya.”

Kami katakan: Maka ini jelas menunjukkan bahwa aqidah wajibnya taat kepada penguasa ini merupakan aqidah dari seluruh ulama ahlussunnah di berbagai negeri. Dan penyebutan negeri-negeri pada ucapan di atas tidak menunjukkan pembatasan, akan tetapi memang demikianlah akidah para ulama ahlussunnah di berbagai negeri pada setiap zaman.

Imam Ath-Thahawi berkata dalam kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiah, “Kami memandang bahwa menaati penguasa yang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Azz wa Jalla adalah suatu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kami mendoakan mereka agar mendapatkan kesalehan dan kebaikan.”

Al-Barbahari rahimahullah berkata dalam Syarh As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Barangsiapa yang memegang tampuk khilafah dimana seluruh manusia sepakat menerimanya dan meridhainya, maka dia dinamakan amirul mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk tinggal satu malam dalam keadaan dia meyakini bahwa dirinya tidak memiliki pemimpin, baik pemimpin itu adalah orang yang saleh maupun orang yang jahat.”

Mufaffaquddin Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’ah Al-I’tiqad, “Termasuk sunnah (tuntunan Islam) adalah mendengar dan taat kepada para penguasa dan pimpinan (amir) kaum muslimin, baik penguasa yang saleh maupun yang jahat. Selama dia tidak memerintahkan kemaksiatan, karena tidak ada ketaatan kepada seorangpun dalam bermaksiat kepada Allah.”

Imam Al-Lalaka`i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah menyebutkan aqidah beberapa orang imam ahlissunnah dalam permasalahan ini di antaranya:

1.    Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah.
Beliau berkata, “Wajib untuk bersabar di bawah kepemimpinan penguasa, baik dia berbuat baik maupun berbuat jahat.

2.    Ali bin Abdillah Al-Madini rahimahullah
Beliau berkata, “Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tinggal semalampun kecuali dalam keadaan dia mempunyai pimpinan, baik pimpinan itu saleh maupun jahat

3.    Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari rahimahullah
Beliau berkata, “Saya telah berjumpa dengan 1000 orang lebih ulama, di Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, dan Mesir. Saya berjumpa dengan mereka berulang-ulang kali dari generasi ke generasi, dari generasi ke generasi.” Kemudian beliau menyebutkan sebagian kecil dari nama-nama para ulama tersebut, lalu kembali berkata. “Maka saya tidak pernah melihat seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah berikut: … Dan kami tidak akan mengganggu penguasa pada urusannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ada 3 perkara yang hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya: Mengikhlaskan amalan untuk Allah, menaati penguasa, dan komitmen dengan al-jamaah, karena doa kepada penguasa akan mengenai juga rakyatnya.”

4.    Abdurrahman bin Abu Hatim Muhammad bin Idris.
Beliau berkata, “Kami mendengar dan taat kepada kepada orang yang Allah Azza wa Jalla serahkan urusan kami kepadanya.”

5.    Sahl bin Abdillah At-Tasturi.
Beliau pernah ditanya, “Kapan seseorang mengetahui kalau dirinya berada di atas sunnah? Beliau menjawab, “Jika dia mengetahui kalau dalam dirinya adal 10 perkara.” Di antara yang beliau sebutkan adalah, “Tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, penguasa yang curang maupun yang adil.
Maka semua dalil-dalil di atas ditambah dengan kesepakatan para ulama salaf di berbagai zaman dan tempat, menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah bukanlah masalah kecil atau masalah sampingan dalam agama. Bahkan dia merupakan salah satu tonggak tegaknya agama, karena tanpa adanya ketaatan kepada penguasa maka yang ada adalah kerusakan dimana-mana, dan keadaan yang kacau jelas mempengaruhi keberagamaan setiap orang.

Karenanya, kebiasaan untuk tidak taat kepada penguasa bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Bahkan kebiasaan ini merupakan kebiasaan orang-orang musyrikin jahiliah sebelum terutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata dalam Masa`il Al-Jahiliah, “Perilaku jahiliah yang ketiga: Mereka menganggap bahwa menyelisihi penguasa dan tidak taat kepadanya adalah suatu keutamaan, sementara mendengar dan taat kepadnya adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyelisihi mereka, dan beliau memerintahkan untuk mendengar dan taat kepadanya serta menasehatinya. Beliau sangat tegas memerintahkan hal tersebut, betul-betul menjelaskannya secara gamblang, dan beliau selalu mengulang-ulanginya.”

Walaupun demikian keadaannya, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memberikan pembatasan dalam menaati pemerintah sebagaimana diberikannya pembatasan dalam menaati ulama. Karena seluruh manusia sepandai dan sekuat apapun dia pasti akan memerintahkan kesalahan, kecuali para nabi dan rasul. Karenanya dalil-dalil di atas, selain memerintahkan untuk taat kepada penguasa, dalil tersebut juga menegaskan bahwa ketaatan kepada mereka hanya terbatas jika mereka tidak memerintahkan kemaksiatan.

Imam Ibnu Abdil Izz dalam Syarh Ath-Thahawiah hal. 381 berkata menjelaskan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, “Kenapa Allah berfirman, “Dan taatilah,” tapi tidak berfirman, “Dan taatilah ulil amri di antara kalian?” Hal itu karena pemerintah tidak berdiri sendiri dalam hal ditaati, akan tetapi mereka hanya ditaati pada perkara yang merupakan ketaatan kepada Alah dan Rasul-Nya. Allah mengulangi perintah (taatilah) pada Ar-Rasul karena siapa saja yang menaati Ar-Rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan karena Ar-Rasul tidaklah pernah memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah, bahkan beliau ma’shum dalam hal itu. Adapun pemerintah, maka terkadang dia memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah. Karenanya dia tidak ditaati kecuali jika perintahnya merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Adapun hadits Ibnu Umar di atas maka sangat tegas menunjukkan apa yang kita sebutkan di atas. Hanya saja di sini ada satu catatan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” TIDAKLAH menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah akan gugur selama-lamanya kapan sekali saja mereka memerintahkan kemaksiatan, tidak sama sekali. Karena hal itu akan bertentangan dengan dalil-dalil lain yang memerintahkan untuk selalu taat kepada pemerintah selama perintahnya bukan kemaksiatan. Akan tetapi yang dimaksud dalam hadits itu adalah bahwa kapan pemerintah memerintahkan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati, akan tetapi jika setelah itu dia kembali memerintahkan kebaikan, maka kita kembali wajib untuk menaatinya.

Bagaimana dengan perintah penguasa yang sifatnya bukan ketaatan dan bukan pula maksiat? Misalnya peraturan atau keputusan pemerintah yang dibuat dalam masalah duniawiah.

Berdasarkan semua dalil di atas maka kita tetap wajib menaatinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengecualikan satu keadaan untuk kita boleh tidak taat kepada mereka, yaitu jika perintah mereka adalah kemaksiatan. Artinya, perintah penguasa selain dari kemasiatan tetap wajib untuk kita dengarkan, terlebih lagi jika perintah atau keputusan itu dibuat untuk kemaslahatan kaum muslimin itu sendiri. Wallahu a’lam

http://al-atsariyyah.com

ADAB-ADAB SEORANG THOLIB TERHADAP DIRINYA

Disusun Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary

تطهيرُ القلبِ مِن كلِّ غشٍ و غلٍ و حسدٍ و سوءِ معتقدٍ أو خلقٍ ليصلُحَ بذالك لقبولِ العلمِ و حفظِه.

“Membersihkan hati dari kedengkian, dendam dan hasad serta jeleknya keyakinan atau akhlak agar dengan itu dapat menerima ilmu dan menghafalnya dengan baik.”

حسنُ النّيّةِ في طلبِ العلمِ بأن يقصدَ به وجهَ اللهِ تعالى و العملَ به و إحياءَ السّنّةِ و تنويرَ قلبِه و تحلِيَةَ باطنِه.

“Memiliki niat yang baik dalam tholabul ilmi dengan bertujuan meraih keridhoan Alloh Ta’ala dan mengamalkanya serta menghidupkan sunnah, menerangi hatinya dan mengisi batinnya.”


المبادرةُ إلى تحصيلِ العلمِ في وقتِ الشّبابِ, و لايغتر بخدعِ التّسويفِ و التَّأمِيلِ, فإنّ كلَّ ساعةٍ تُمضِي مِن عمرِه لا بَدَلَ لها و لا عِوَضَ.

“Bersegera untuk mencapai ilmu di waktu muda, jangan terpengaruh dengan tipuan orang-orang yang mengulur-ngulur (waktunya) karena setiap waktu yang telah lewat dari umur tidak ada penggantinya.”

أن يقنعَ مِن الوقتِ بما تيسّر و مِن اللِّباسِ بما تيسّر مثله و إن كان خَلِقًا, فبالصّبرِ على ضيقِ العيشِ ينالُ سعةَ العلمِ.

“Merasa cukup dengan makanan yang didapat dan pakaian yang dimiliki meski telah usang.
Kesabaran atas kesulitan hidup akan meraih keluasaan ilmu.”

أن يقسّمَ أوقاتِ ليلِه و نهارِه, و يغتنم ما بقي مِن عُمرِه فإنّ بقيةَ العُمرِ لا قيمةَ له. و أجوَدُ الأوقاتِ للحفظِ الأسحارُ و للبحثِ الأبكارُ و للكتابةِ وسطُ النّهارِ و للمطالعةِ و المذاكرةِ اللّيلُ.

“Membagi waktu malamnya dan siangnya, serta memanfaatkan sisa umurnya, sebab umur yang tersisa itu tiada taranya.

Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan untuk mempelajari sesuatu adalah pagi-pagi, adapun untuk menulis adalah pertengahan siang sedang untuk menela’ah dan mengulang pelajaraan adalah malam hari.”

أن يقلّلَ مِن نومِه مالم يلحقه ضررٌ في بدنِه و ذِهنِه لا يزيد في نومِه في اليومِ و اللّيلةِ عن ثمانِ ساعاتٍ.

“Mengurangi waktu tidur selama tidak membahayakan badan dan pikirannya, (hendaknya) waktu tidur tidak lebih dari delapan jam sehari dan semalam.”

من أعظمِ الأسبابِ العينةِ على الإشتغالِ بالعلمِ و الفهمِ و عدمِ الملالِ, أكلُ القدرِ اليَسِيرِ مِن الحلالِ لأنّ كثرةَ الأكلِ جالبةٌ لكثرةِ الشُّربِ و كثرتِه جالبةٌ للنّومِ و البَلادَةِ.

“Diantara sebab terbesar yang dapat membantu agar (selalu) sibuk dengan ilmu dan tidak bosan ialah makan dengan kadar yang ringan dari yang halal, karena banyak makan dapat mendorong untuk banyak minum kemudian menyebabkan banyak tidur dan kebodohan.”

أن يأخدَ نفسَه بالورعِ في جميعِ شأنِه و يتحرّى الحلالَ في طعامِه و شرابِه و لباسِه و مَسكَنِه.

“Menumbuhkan sikap waro’ dalam segenap urusannya dan berusaha agar makanannya, minumannya, pakaiannya dan tempatnya (senantiasa) halal.”

يَنبَغِي لطالبِ العلمِ أن لا يُخالِطَ إلا مَن يُفِيدُه أو يَستَفِيدُ مِنه.

“Seorang tholabul ilmi sepatutnya tidak bergaul kecuali dengan orang yang dapat memberinya faedah atau dapat mengambil faedah darinya.”

أن يجتنبَ اللَّعِبَ و العَبَثَ و التَّبَذُّلَ في المجالسِ بالسُّخفِ و الضَّحكِ. و لا بأس أن يريحَ نفسَه و قلبَه و بصرَه بتَنَزُّهٍ في المُتَنَزِّهاتِ, و لابأس بمعاناةِ المشيِ و رياضَةِ البدنِ به.

“Menjauhi perkara yang sia-sia dan main-main serta majlis-majlis yang dipenuhi dengan tertawa dan hal yang tiada guna. Tidak mengapa untuk menghibur jiwa, hati dan pandangannya dengan bertamasya ke suatu tempat, tidak mengapa pula menyegarkan kaki dan berolah raga badan.”

{( مِن هديِ السّلفِ فِي طلبِ العلمِ, بصفحة 47 – 55 )}

http://www.adhwaus-salaf.or.id/
http://salafiyunpad.wordpress.com

Menariknya Bekam

Oleh : dr.Abu Hana

Judul diatas adalah sebuah pertanyaan sederhana yang mesti kita jawab dan renungkan, Berbahagialah apabila Anda menjawab, “pernah”.

Sayangnya, sebagian besar kita belum pernah mendengar istilah hijamah/bekam apalagi yang pernah dibekam. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan sebab hijamah sudah dikenal ribuan tahun yang lalu, bahkan sejak zaman Nabi Musa ‘Alaihissalam, dan dikukuhkan syariatnya pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang pada akhirnya berkembang ke seluruh dunia hingga saat ini.
Titik-titik darah berwarna merah kehitaman mulai muncul di leher tepat di belakang cuping aktor Hengky Tornando. Perlahan-lahan cairan yang terlihat agak berbuih itu semakin banyak keluar, hingga hampir memenuhi mangkuk bekam. Meski berdarah-darah begitu, ekspresi Hengky yang tiduran tertelungkup terlihat rileks saja.

Tak sampai 10 menit kemudian mangkuk-mangkuk dilepas. Darah yang tertinggal di kulit diseka menggunakan kapas. “Rasanya, tubuh jadi ringan. Pusing dan pegal tidak pernah kumat,” kata Hengky yang mulai mengenal bekam sejak dua tahun lalu. Pembawa acara televisi Ferdi Hasan yang pernah sekali merasakan terapi ini memberi kesaksian serupa. “Khasiatnya instan, badan langsung terasa enteng.”

Hengky Tornando maupun Ferdi Hasan telah meyakini manfaat bekam, sebuah terapi untuk mengeluarkan “darah kotor” dari tubuh guna mengusir berbagai keluhan penyakit atau sekadar menjaga stamina dan kesehatan tubuh.
Teknologi medis telah banyak mengalami kemajuan dan modernisasi dalam metode eksperimen dan pengobatan. Namun perkembangan jenis penyakit juga tidak kalah cepat beregenerasi bahkan berevolusi. Dalam dekade terakhir telah muncul banyak penyakit yang menjadi momok dalam dunia kesehatan ; HIV/AIDS, SARS, Avian Influenza dan banyak penyakit mematikan lainnya seakan beradu cepat menyerang dan membinasakan populasi dunia.

Bukan rahasia lagi, pengobatan dengan bahan kimia sintetis mungkin dapat mengobati suatu penyakit, tetapi dapat juga menimbulkan penyakit bawaan yang lain sebagai bentuk efek samping buruk dari sifat bahan kimia. Satu penyakit dapat disembuhkan tetapi dapat muncul penyakit lain. Jadilah lingkaran setan yang tidak ada habisnya dalam dunia pengobatan modern. Ternyata mahalnya obat kimia sintetis bukan jaminan kesembuhan..

Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata: “Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ibnul Qayyim juga berkata: “Pengobatan ala-Nabi tidak seperti layaknya pengobatan ahli medis (barat-red). Pengobatan ala-Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i), bernuansi ilahy, berasal dari wahyu dan misykat nubuwah serta kesempurnaan akal.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Sesungguhnya cara pengobatan paling ideal yang kalian pergunakan adalah hijamah (bekam)” (Muttafaq ‘alaihi, Shahih Bukhari (no. 2280) dan Shahih Muslim (no. 2214)

Dari Ashim bin Umar bin Qatadah Radhiallaahu ‘anhu, dia memberitahukan bahwa Jabir bin Abdullah Radhiallaahu ‘anhu pernah menjenguk al-Muqni’ Radhiallaahu ‘anhu, dia bercerita: “Aku tidak sembuh sehingga aku berbekam, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya didalamnya terkandung kesembuhan’.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Ya’la, al-Hakim, al-Baihaqi).

Masihkan anda ragu dan berpaling dari kedahsyatan Hijamah/bekam?
(dirangkum dari berbagai sumber) untuk http://kaahil.wordpress.com

Kewajiban Mengikuti Pemahaman Salafush Shalih Dalam Beragama

Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.

Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.

Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.

Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.

Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama.

DALIL DARI AL QUR’AN

Allah berfirman dalam Al Qur’an:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah:137].

Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. [Ali Imran:110].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka menyuruh kepada seluruh yang ma’ruf dan mencegah dari seluruh yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)

Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].

Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.

Jika demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!

Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid”. [2].

DALIL DARI AS SUNNAH

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].

Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah n . Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit mereka fahami.

Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”. [4].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5].
 
Ketika menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum“[6]

DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM

1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.

Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi n telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal: 100]

Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”. [7]

2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:

أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ

Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. [Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali].

3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:

تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ

Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5].

4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:

كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ

Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36].

5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ

Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104].

Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya.

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].

6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:

آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ

Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.

Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]

8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:

مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ
Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka. [10].

9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:

عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ…
Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].

Demikianlah penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[3]. I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[5]. Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24.
[6]. Limadza, hlm. 76.
[7]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[8]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[9]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[10]. Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.
Artikel : almanhaj.or.id
abangdani.worpress.com

Biografi Syaikhul Islam

Syeikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An- Numairy Al Harani Adimasqi Al Hambali. Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam yang telah dimatikan oleh banyak orang.

Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat selamat.

PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia…” Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pem- bagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (di tengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

KEHIDUPAN PENJARA

Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.

Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”

Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

WAFATNYA

Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan, dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahidd, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.

(Dikutip: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq )

Sumber : www.abangdani.wordpress.com
Artikel : http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/24/syeikhul-islam-ibnu-taimiyah/
Downloa Audio : http://www.radiorodja.com/kajian-live/biografi-singkat-syaikhul-islam-ibnu-taimiyyah

Biografi Singkat Abdullah Ibnu Mas'ud

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “ Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia hijrah ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu Jahal.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda” Ambilah al-Quran dari empat orang: Abdullah, Salim (sahaya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”. Menurut para ahli hadits, kalau disebutkan “Abdullah” saja, yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Mas’ud ini.

Ketikah menjadi Khalifah Umar mengangkatnya menjadi Hakim dan Pengurus kas negara di kufah. Ia simbol bagi ketakwaan, kehati-hatian, dan kesucian diri.

Sanad paling shahih yang bersumber dari padanya ialah yang diriwayatkan oleh Suyan ats-Tsauri, dari Mansyur bin al-Mu’tamir, dari Ibrahi, dari alqamah. Sedangkan yang paling dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Syuraik dari Abi Fazarah dari Abu Said.

Ia meriwayatkan hadits dari Umar dan Sa’ad bin Mu’adz. Yang meriwayatkan hadits darinya adalah Al-Abadillah (“Empat orang yang bernama Abdullah”), Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah, Masruq, Syuraih al-Qadli, dan beberapa yang lain. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 848 hadits.

Beliau datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun 32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.

Disalin dari : Biografi Ibn Mas’ud dalam Al-Ishabah: Ibn Hajar Asqalani no.4945

Sumber http://ahlulhadist.wordpress.com

Jangan Kafirkan Saudaramu

Berikut ini adalah transkip dan terjemah dari salah satu bagian dari ceramah Syeikh Abdul Aziz ar Rais. Materi ini beliau sampaikan pada tanggal 2 Jumadil Ula 1428 H di salah satu masjid di Uni Emirat Arab. Judul ceramah beliau adalah at Tahdzir min al Ghuluw fit Takfir (Peringatan dari Sikap Berlebih-lebihan dalam Memberikan Vonis Kafir. Pada menit 46:52-52:18 beliau membahas salah satu kaedah penting dalam vonis kafir yaitu kaedah ‘Tidak Boleh Memberikan Vonis Kafir pada Person-Person Tertentu dalam Masalah-Masalah yang Diperselisihkan, Membatalkan Keislaman Ataukah Tidak”. Lengkapnya adalah sebagai berikut.


الضابط الرابع اعلموا يا إخواني إنه لا يصح التكفير في المسائل المختلف فيها. قد يختلف العلماء في مسألة هل هي كفر أم لا؟ فإذا فعلها معين فإنه لا يكفر. لأن الخلاف نوع من الشبهة و التأويل يمنع تكفير المعين.

Kaedah yang keempat, ketahuilah wahai saudara-saudaraku seseungguhnya tidak boleh memberikan vonis kafir pada person-person tertentu dalam masalah yang masih diperselisihkan. Terkadang para ulama berbeda pendapat tentang suatu permasalahan apakah hal tersebut kekafiran ataukah bukan. Dalam hal seperti ini, individu tertentu yang melakukannya tidak bisa divonis sebagai orang yang kafir. Adanya perbedaan pendapat adalah salah satu bentuk syubhat dan takwil (kesamaran sehingga banyak orang yang sulit membedakan yang benar dan yang salah) yang menjadi faktor penghalang pemberian vonis kafir kepada individu tertentu.

ذكر هذه القاعدة و إشار إليها الحافظ ابن حجر في فتح الباري و النووي في شرح مسلم. و نص عليها بوضوح و كررها الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين في شرح القواعد المثلي و في عدة اللقاءات في اللقاء المفتوح المسمي الباب المفتوح.

Kaedah ini diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Nawawi dalam syarah beliau untuk Shahih Muslim. Kaedah ini disebutkan dengan bahasa lugas bahkan disebutkan berulang kali oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam syarah atau penjelasan beliau untuk kitab al Qowaid al Mutsla dan dalam beberapa sesi pertemuan dalam acara Liqo’ al Bab al Maftuh.

ذكر هذه القاعدة الإمام محمد بن عبد الوهاب-رحمه الله تعالي- في المجلد الأول من الدرة السنية. قال: لا نكفر الا ما أجمع العلماء علي أنه كفر.
و أضرب لك ثلاث أمثلة تفهم بها هذا الأمر.

Kaedah ini juga disebutkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana bisa dijumpai di jilid pertama dari ad Durroh as Saniyah. Beliau mengatakan,

Kami tidak mengkafirkan person tertentu kecuali orang yang melakukan suatu hal yang para ulama bersepakat bahwa hal tersebut adalah kekafiran”.

Akan aku sampaikan tiga contoh agar kaedah ini bisa dipahami dengan baik

المثال الأول: الحكم بغير ما أنزل الله.
لو قال القائل إن هذا الحاكم يحكم بغير ما أنزل الله فأريد أن نكفره بهذا الأمر. فيقال: إن علماء السلف الأوائل على أن الحكم بغير ما أنزل الله كفر أصغر, ليس كفر أكبر, معصية. ليس كفرا.

pertama adalah masalah memutuskan hukum dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah.
Jika ada orang yang mengatakan, “Ada seorang penguasa yang memutuskan hukum dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah. Aku ingin mengkafirkannya karena masalah ini”.

Kita katakan bahwa para ulama salaf yaitu para ulama terdahulu bersepakat bahwa memutuskan permasalahan dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah itu kekafiran kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, bukan kekafiran besar. Sehingga hal tersebut statusnya adalah maksiat dan bukan kekafiran.

إن قال: إن من علماء المعاصرين من يجعله كفرا أكبر, فيقال: إن أئمة العصر الثلاث, الإمام عبد العزيز بن عبد الله بن باز و الإمام محمد ناصر الدين الألباني و الإمام محمد بن صالح بن العثيمين على أنه كفر أصغر, لا أكبر.

Jika orang tersebut beralasan, “Ada sebagian ulama kontemporer yang menilai permasalahan di atas sebagai kekafiran besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam” maka jawabannya adalah dengan kita katakana bahwa tiga imam ahli sunnah di zaman ini yaitu Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Imam Muhammad Nashiruddin al Albani dan Imam Muhammad bin Shalih al Utsaimin bersepakat bahwa hal tersebut termasuk kekafiran kecil, bukan kekafiran besar.

فأقل ما يقال –تنازلا-إن في المسألة خلافا. و إذا ثبت الخلاف في المسألة و إلا حقيقة, لا خلاف لكن لنفرض أن في المسألة خلافا. فإذا ثبت في المسألة خلاف فالخلاف مانع من تكفير المعين. قلت لكم و الواقع إنه لا خلاف بين أئمة السلف أن الحكم بغير ما أنزل الله كفر أصغر لا كفر أكبر.

Sehingga minimal kita katakan -sebagai bentuk mengalah- bahwa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Jika telah jelas adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini meski sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat maka adanya perbedaan pendapat adalah salah satu faktor penghalang untuk memvonis person tertentu dengan kekafiran. Sekali lagi aku tegaskan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam salaf bahwa memutuskan hukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah itu kekafiran kecil, bukan kekafiran besar.

المثال الثاني:إعانة الكفار.
قد يحصل من دولة كافرة, تهجم علي دولة مسلمة. فقد يحصل من دولة مسلمة أخري تساعد هذه الكافرة على المسلمة. فمثل هذا كفعل حاطب بن أبي بلتعة-رضي الله عنه-. و النبي-صلي الله عليه و سلم-لا يكفره به.

Contoh kedua adalah membantu orang-orang kafir.

Boleh jadi ada negara kafir yang menyerang negara Islam lalu ada negara Islam lain yang membantu negara kafir ini untuk menyerang negara Islam. Perbuatan semacam ini semisal dengan perbuatan shahabat Hathib bin Abi Balta’ah sedangkan Nabi tidak mengakafirkan Hathib karena perbuatannya.

بل اعلموا-يا إخواني-أن الجاسوس و هو الذي ينقل أخبار المسلمين إلى كافرين باتفاق أئمة المذاهب الأربعة ليس كافرا مستدلين بحديث حاطب بن أبي بلتعة.

Bahkan ketahuilah –wahai saudara-saudaraku- bahwa mata-mata yaitu seorang muslim yang menceritakan kondisi kaum muslimin kepada orang-orang kafir itu tidak kafir dengan kesepakatan empat imam mazhab. Semua mereka beralasan dengan hadits tentang kisah Hathib bin Abi Balta’ah.

و نص على عدم تكفير الجاسوس الإمام ابن تيمية في الصارم المسلول و الإمام ابن القيم في زاد المعاد. فإذا الجاسوس و هو الذي يعين الكفار علي المسلمين ليس كافرا فدلك هذا على أن مجرد الإعانة ليس كفرا.

Imam Ibnu Taimiyyah dalam al Sharim al Maslul dan Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad menegaskan bahwa seorang muslim yang menjadi mata-mata orang kafir itu tidak kafir. Jika mata-mata semisal ini yang membantu orang kafir untuk menyerang kaum muslimin saja tidak kafir maka realita ini menunjukkan bahwa semata-mata memberikan bantuan kepada negara kafir itu bukan termasuk kekafiran.

متى يكون كفرا؟ يكون كفرا إذا فعله على الوجه الكفري و هو أن يعين الكفار و يريد من إعانتهم ظهور دين الكفر على دين الإسلام. قال حاطب: ما فعلت رغبة عن الإسلام ولا رضا بالكفر.

Kapan menolong negara kafir itu terhitung kekafiran? Jawabannya perbuatan tersebut tergolong kekafiran ketika pertolongan yang diberikan adalah pertolongan yang statusnya  perbuatan kekafiran. Yaitu menolong negara kafir dengan memiliki niat ketika menolong negara kafir ini agar agama kekafiran menang terhadap agama Islam. Hathib mengatakan, “Aku tidak melakukan hal ini karena membenci Islam dan ridho dengan kekafiran”.

أما إذا فعله علي غير هذا الوجه فإنه يعتبر معصية لا كفرا.
فإن قال قائل: أنا أري أنه كفر و الحاكم الذي فعل هذا سأكفره. فيقال: أقل ما يقال إن في المسألة خلافا. فإذا ثبت أن في المسألة خلافا فالخلاف مانع من تكفير المعين كما تقدم ذكره.

Sedangkan menolong negara kafir tidak sebagaimana di atas maka menolong negara kafir dalam hal ini dinilai sebagai maksiat dan bukan kekafiran.

Jika ada orang yang mengatakan, “Aku berpendapat bahwa sekedar menolong negara kafir dalam hal ini adalah kekafiran sehingga penguasa yang melakukan hal tersebut akan saya kafirkan” maka jawabannya adalah dengan kita katakan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.

هذان مثالان. أما المثال الثالث سأذكر لكم لأنه أظن أن بعضكم قد يشتبه عليه المثال الثاني. قد يقول القائل: على قولك- و إن كان ليس قولي و إنما أنقل-على ما نقلت من أهل العلم إن الأعين لا يكفرون بالمسائل المتنازع فيها يلزم على هذا أن لا نكفر تارك الصلاة.

Itulah dua contoh yang dimaksudkan. Sedangkan contoh kasus yang ketiga itu akan saya sampaikan karena saya memiliki praduga bahwa sebagian kalian tidak bisa memahami dengan baik contoh yang kedua.
Boleh jadi ada yang bertanya, ‘Berdasarkan penjelasan anda tadi -meski sebenarnya itu bukan pendapatku karena aku hanya mengutip pendapat para ulama- atau dengan bahasa lain berdasarkan nukilan dari para ulama yang telah anda bawakan yaitu person tertentu itu tidak bisa dikafirkan dikarenakan masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh para ulama apakah masalah tersebut kekafiran ataukah bukan maka konsekunsinnya kita tidak boleh mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat’.

فيقال: قد أجاب على هذا الإشكال الشيخ العلامة محمد صالح العثيمين- رحمه الله تعالي- فقال: إن الدولة التى شاع بين العامة أن ترك الصلاة كفر كبلاد السعودية فمثل هذه يكفر لأن العام لا يعرف الا هذا القول فكأنما المسألة إجماع المستوطنين.

Jawabannya adalah dengan kita katakan bahwa permasalahan ini telah dijawab oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin. Beliau mengatakan bahwa untuk negara yang di tengah-tengah orang awamnya tersebar pendapat bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran semisal negara Saudi Arabia maka dalam kondisi ini orang yang tidak mengerjakan shalat divonis sebagai orang kafir. Alasannya karena orang-orang awan di negeri tersebut tidak tahu melainkan pendapat ini. Seakan-akan pendapat ini menjadi konsesus warga negara tersebut.

أما الدول الآخر التى شاع فيها خلاف في المسألة فالخلاف مانع من تكفير المعين.
Sedangkan di negara lain yang perselisihan pendapat tentang masalah ini tersebar luas di masyarakat negeri tersebut maka adanya perbedaan pendapat adalah salah satu penghalang vonis kafir untuk person tertentu.

sumber www.ustadzaris.com

Bolehkah Meminta Diruqyah?

Tanya:
Bolehkah berdialog dengan jin muslim ketika meruqyah?



Jawab:

Tidak boleh, dari mana kita tahu bahwa jin tersebut benar-benar muslim. Boleh jadi dia adalah munafik yang mengaku sebagai muslim atau dia adalah jin kafir yang mengaku muslim. Kita tidak tahu alam jin dan hal-hal gaib lainnya. Jadi hal tersebut tidak dibolehkan.

Orang yang mengaku muslim dan ada di hadapan kita serta mengerjakan shalat saja tidak kita ketahui apakah dia benar-benar muslim. Kita hanya menilai orang tersebut sebatas sisi lahiriahnya saja.

Tidak ada alasan untuk mempersulit diri semacam ini. Orang yang bersabar ketika sakit akan Alloh beri pahala.

Ada seorang buta menghadap Nabi lalu meminta kepada Nabi agar mendoakannya supaya bebas dari kebutaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mau akan aku doakan. Namun jika mau bersabarlah” (HR Tirmidzi no 3578 dari dari Utsman bin Hunaif, dinilai shahih oleh al Albani).

Demikian pula ada seorang perempuan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai rasulullah aku terkena penyakit ayan. Tolong doakan aku”. Nabi bersabda, “Jika engkau mau akan kudoakan. Akan tetapi jika engkau mau bersabarlah dan untukmu surga” (HR Bukhari no 5328 dan Muslim no 2576 dari Ibnu Abbas).

Jadi tidak perlu memaksa-maksakan diri. Apakah kita lebih sayang kepada orang sakit dibandingkan dengan Nabi?

Alloh menguji hamba-hambaNya dengan sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satupun rasa capek, sedih, sakit bahkan gelisah yang dialami seorang muslim kecuali menjadi sebab Alloh akan menghapus dosa-dosanya” (HR Bukhari no 5318 dan Muslim no 6733 dari Abu Hurairah dan Abu Said).

Seorang mukmin mungkin saja sakit dan dia akan dapat pahala jika dia bersabar,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ,

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”.” (QS al Baqarah:155-156)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak minta untuk diruqyah, tidak minta untuk di-kay (pengobatan dengan besi panas) dan hanya bertawakkal kepada rabbnya” (HR Bukhari no 5378 dan Muslim no 549 dari Ibnu Abbas).

Maka orang yang meminta agar diruqyah itu turun kadar iman dan tawakalnya. Orang-orang yang sakit hendaknya kita nasehati untuk bersabar, tidak meminta untuk diruqyah, mengadu dan berdoa kepada Alloh. Meminta untuk diruqyah tergolong mengemis. Oleh karenanya mengurangi kadar tawakal.

Mukmin selama di dunia ini akan mendapatkan berbagai cobaan berupa sakit dan berbagai musibah supaya Alloh bisa meninggikan derajatnya jika dia bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Alloh mencintai seseorang maka Alloh akan mengujinya. Jika dia bersabar maka untuknya buah kesabarannya. Namun jika dia berkeluh kesah maka untuknya buah keluh kesahnya” (HR Tirmidzi no 2396 dari Anas, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).

Seorang mukmin yang sakit wajib bersabar terhadap ketetapan Alloh. Lebih baik lagi jika ridha dengan ketentuan Alloh karena ridha adalah tingkatan iman tertinggi dalam menghadapi takdir Alloh. Bersabar terhadap ketetapan Alloh hukumnya wajib. Sedangkan berkeluh kesah hukumnya haram. Jangan pernah berkeluh kesah,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”" (QS at Taubah:51)

Jika Alloh berkehendak si sakit ini tidak akan sembuh maka ruqyah atau usaha lainnya tidak ada manfaatnya. Karena segala sesuatu itu dengan kehendak Alloh. Seorang mukmin hanya akan mengadu kepada Alloh, beriman dengan takdir dan bersabar menerima takdir. Lebih baik jika bisa ridha dengan ketentuanNya. Jika ingin berobat maka silahkan berobat. Sedangkan meminta untuk diruqyah hukumnya tidaklah haram namun makruh dan menyebabkan derajatnya di sisi Alloh menjadi turun.

Sedangkan orang yang menjadikan ruqyah sebagai profesi dan berusaha mempopulerkan dirinya sebagai pakar ruqyah bahkan mengiklankan diri di media massa dan membuka ruqyah center, maka orang semisal ini agamanya dipertanyakan. Apa yang mendorongnya melakukan hal tersebut padahal dia sama dengan kaum muslimin yang lain? Keistimewaan apa yang dia miliki? Masih banyak orang yang lebih bertakwa dan lebih berilmu. Prakteknya mereka pun tidak mencukupkan diri dengan ruqyah syar’iyyah bahkan mereka membuat model-model baru dalam ruqyah.

(Diolah dari As-ilah Muhimmah Haula al Ruqyah wa al Ruqo karya Syeikh Rabi’ al Madkhali)

sumber www.ustadzaris.com

 
Powered by Blogger