Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Kebenaran Lebih Berhak Untuk Dilaksanakan

Kamis, 29 September 2011

Sahur dan Berbuka

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187)


Mengakhirkan Sahur


Siapa yang tidak suka dengan perkara ini, hal yang dengannya kita dapat menopang tubuh kita selama berpuasa sampai kepada berbuka. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”¹ Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Karena dengan makan sahur akan semakin kuat melaksanakan puasa.” ²

Makan sahur hendaknya tidak ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.”³

Betapa banyaknya pahala dan berkah yang Allah turunkan kepada hamba-Nya di bulan yang mulia ini, sampai-sampai makan saja di beri shalawat dan berkah. Nikmat-Nya yang mana lagi yang akan kita dustakan ?
Allah Ta’ala berfirman : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki. Maka jelaslah bahwa batas akhir waktu sahur adalah datangnya fajar yang ditandai dengan adzan subuh dan hal ini pun diperkuat oleh hadits berikut :
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.⁴ Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.”
50 atau 60 ayat jika dihubungkan dengan waktu adalah sekitar 5-10 menit. Ibnu Hajar mengatakan, “Maksud sekitar membaca 50 ayat artinya waktu makan sahur tersebut tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu cepat.” Al Qurthubi mengatakan, “Hadits ini adalah dalil bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar shubuh.” Di antara faedah mengakhirkan waktu sahur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar yaitu akan semakin menguatkan orang yang berpuasa. Ibnu Abi Jamroh berkata, “Seandainya makan sahur diperintahkan di tengah malam, tentu akan berat karena ketika itu masih ada yang tertidur lelap, atau barangkali nantinya akan meninggalkan shalat shubuh atau malah akan begadang di malam hari.”⁵

Lihat apa yang telah disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika selesai sahur, beliau lantas langsung memeritahkan adzan. Jadi telah kelirulah kita selama ini, ternyata imsak bukanlah tanda berakhirnya sahur, bahkan setelah imsaklah waktu yang paling afdhol untuk sahur sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Subhanallah, sungguh benar Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan (QS. Al Baqarah: 185), sehingga kita harus bersyukur dan menjaga dari rusaknya kemudahan-kemudahan yang Ia hendaki.

Menyegerakan Berbuka


Berakhirlah perjuangan hari ini, datanglah waktu yang ditunggu-tunggu, pahalapun siap untuk dituai, sehingga sampailah kita pada do’a yang menenangkan jiwa : “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”⁶

Dan akhirnya sunnah-pun terlaksana : “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” ⁷

Adapun do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)” ⁸ haditsnya tidak dapat menjadi sandaran (lemah/Dho’if).

Semoga kita dapat selalu mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu waliyut taufiq.

Dikutip dari : e-book buku Panduan Ramadhan, karya M. Abduh Tuasikal








¹ HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095.
² Al Majmu’, 6/359.
³ HR. Ahmad 3/12, dari Abu Sa’id Al Khudri. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya.
⁴ HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
⁵ Lihat Fathul Bari, 4/138.
⁶ HR. Abu Daud no. 2357 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum .Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
⁷ HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin Sa’ad.
⁸ HR. Abu Daud no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger