Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Kebenaran Lebih Berhak Untuk Dilaksanakan

Jumat, 30 September 2011

Jangan Kafirkan Saudaramu

Berikut ini adalah transkip dan terjemah dari salah satu bagian dari ceramah Syeikh Abdul Aziz ar Rais. Materi ini beliau sampaikan pada tanggal 2 Jumadil Ula 1428 H di salah satu masjid di Uni Emirat Arab. Judul ceramah beliau adalah at Tahdzir min al Ghuluw fit Takfir (Peringatan dari Sikap Berlebih-lebihan dalam Memberikan Vonis Kafir. Pada menit 46:52-52:18 beliau membahas salah satu kaedah penting dalam vonis kafir yaitu kaedah ‘Tidak Boleh Memberikan Vonis Kafir pada Person-Person Tertentu dalam Masalah-Masalah yang Diperselisihkan, Membatalkan Keislaman Ataukah Tidak”. Lengkapnya adalah sebagai berikut.


الضابط الرابع اعلموا يا إخواني إنه لا يصح التكفير في المسائل المختلف فيها. قد يختلف العلماء في مسألة هل هي كفر أم لا؟ فإذا فعلها معين فإنه لا يكفر. لأن الخلاف نوع من الشبهة و التأويل يمنع تكفير المعين.

Kaedah yang keempat, ketahuilah wahai saudara-saudaraku seseungguhnya tidak boleh memberikan vonis kafir pada person-person tertentu dalam masalah yang masih diperselisihkan. Terkadang para ulama berbeda pendapat tentang suatu permasalahan apakah hal tersebut kekafiran ataukah bukan. Dalam hal seperti ini, individu tertentu yang melakukannya tidak bisa divonis sebagai orang yang kafir. Adanya perbedaan pendapat adalah salah satu bentuk syubhat dan takwil (kesamaran sehingga banyak orang yang sulit membedakan yang benar dan yang salah) yang menjadi faktor penghalang pemberian vonis kafir kepada individu tertentu.

ذكر هذه القاعدة و إشار إليها الحافظ ابن حجر في فتح الباري و النووي في شرح مسلم. و نص عليها بوضوح و كررها الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين في شرح القواعد المثلي و في عدة اللقاءات في اللقاء المفتوح المسمي الباب المفتوح.

Kaedah ini diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Nawawi dalam syarah beliau untuk Shahih Muslim. Kaedah ini disebutkan dengan bahasa lugas bahkan disebutkan berulang kali oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam syarah atau penjelasan beliau untuk kitab al Qowaid al Mutsla dan dalam beberapa sesi pertemuan dalam acara Liqo’ al Bab al Maftuh.

ذكر هذه القاعدة الإمام محمد بن عبد الوهاب-رحمه الله تعالي- في المجلد الأول من الدرة السنية. قال: لا نكفر الا ما أجمع العلماء علي أنه كفر.
و أضرب لك ثلاث أمثلة تفهم بها هذا الأمر.

Kaedah ini juga disebutkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana bisa dijumpai di jilid pertama dari ad Durroh as Saniyah. Beliau mengatakan,

Kami tidak mengkafirkan person tertentu kecuali orang yang melakukan suatu hal yang para ulama bersepakat bahwa hal tersebut adalah kekafiran”.

Akan aku sampaikan tiga contoh agar kaedah ini bisa dipahami dengan baik

المثال الأول: الحكم بغير ما أنزل الله.
لو قال القائل إن هذا الحاكم يحكم بغير ما أنزل الله فأريد أن نكفره بهذا الأمر. فيقال: إن علماء السلف الأوائل على أن الحكم بغير ما أنزل الله كفر أصغر, ليس كفر أكبر, معصية. ليس كفرا.

pertama adalah masalah memutuskan hukum dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah.
Jika ada orang yang mengatakan, “Ada seorang penguasa yang memutuskan hukum dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah. Aku ingin mengkafirkannya karena masalah ini”.

Kita katakan bahwa para ulama salaf yaitu para ulama terdahulu bersepakat bahwa memutuskan permasalahan dengan hukum yang berbeda dengan hukum Allah itu kekafiran kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, bukan kekafiran besar. Sehingga hal tersebut statusnya adalah maksiat dan bukan kekafiran.

إن قال: إن من علماء المعاصرين من يجعله كفرا أكبر, فيقال: إن أئمة العصر الثلاث, الإمام عبد العزيز بن عبد الله بن باز و الإمام محمد ناصر الدين الألباني و الإمام محمد بن صالح بن العثيمين على أنه كفر أصغر, لا أكبر.

Jika orang tersebut beralasan, “Ada sebagian ulama kontemporer yang menilai permasalahan di atas sebagai kekafiran besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam” maka jawabannya adalah dengan kita katakana bahwa tiga imam ahli sunnah di zaman ini yaitu Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Imam Muhammad Nashiruddin al Albani dan Imam Muhammad bin Shalih al Utsaimin bersepakat bahwa hal tersebut termasuk kekafiran kecil, bukan kekafiran besar.

فأقل ما يقال –تنازلا-إن في المسألة خلافا. و إذا ثبت الخلاف في المسألة و إلا حقيقة, لا خلاف لكن لنفرض أن في المسألة خلافا. فإذا ثبت في المسألة خلاف فالخلاف مانع من تكفير المعين. قلت لكم و الواقع إنه لا خلاف بين أئمة السلف أن الحكم بغير ما أنزل الله كفر أصغر لا كفر أكبر.

Sehingga minimal kita katakan -sebagai bentuk mengalah- bahwa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Jika telah jelas adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini meski sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat maka adanya perbedaan pendapat adalah salah satu faktor penghalang untuk memvonis person tertentu dengan kekafiran. Sekali lagi aku tegaskan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam salaf bahwa memutuskan hukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah itu kekafiran kecil, bukan kekafiran besar.

المثال الثاني:إعانة الكفار.
قد يحصل من دولة كافرة, تهجم علي دولة مسلمة. فقد يحصل من دولة مسلمة أخري تساعد هذه الكافرة على المسلمة. فمثل هذا كفعل حاطب بن أبي بلتعة-رضي الله عنه-. و النبي-صلي الله عليه و سلم-لا يكفره به.

Contoh kedua adalah membantu orang-orang kafir.

Boleh jadi ada negara kafir yang menyerang negara Islam lalu ada negara Islam lain yang membantu negara kafir ini untuk menyerang negara Islam. Perbuatan semacam ini semisal dengan perbuatan shahabat Hathib bin Abi Balta’ah sedangkan Nabi tidak mengakafirkan Hathib karena perbuatannya.

بل اعلموا-يا إخواني-أن الجاسوس و هو الذي ينقل أخبار المسلمين إلى كافرين باتفاق أئمة المذاهب الأربعة ليس كافرا مستدلين بحديث حاطب بن أبي بلتعة.

Bahkan ketahuilah –wahai saudara-saudaraku- bahwa mata-mata yaitu seorang muslim yang menceritakan kondisi kaum muslimin kepada orang-orang kafir itu tidak kafir dengan kesepakatan empat imam mazhab. Semua mereka beralasan dengan hadits tentang kisah Hathib bin Abi Balta’ah.

و نص على عدم تكفير الجاسوس الإمام ابن تيمية في الصارم المسلول و الإمام ابن القيم في زاد المعاد. فإذا الجاسوس و هو الذي يعين الكفار علي المسلمين ليس كافرا فدلك هذا على أن مجرد الإعانة ليس كفرا.

Imam Ibnu Taimiyyah dalam al Sharim al Maslul dan Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad menegaskan bahwa seorang muslim yang menjadi mata-mata orang kafir itu tidak kafir. Jika mata-mata semisal ini yang membantu orang kafir untuk menyerang kaum muslimin saja tidak kafir maka realita ini menunjukkan bahwa semata-mata memberikan bantuan kepada negara kafir itu bukan termasuk kekafiran.

متى يكون كفرا؟ يكون كفرا إذا فعله على الوجه الكفري و هو أن يعين الكفار و يريد من إعانتهم ظهور دين الكفر على دين الإسلام. قال حاطب: ما فعلت رغبة عن الإسلام ولا رضا بالكفر.

Kapan menolong negara kafir itu terhitung kekafiran? Jawabannya perbuatan tersebut tergolong kekafiran ketika pertolongan yang diberikan adalah pertolongan yang statusnya  perbuatan kekafiran. Yaitu menolong negara kafir dengan memiliki niat ketika menolong negara kafir ini agar agama kekafiran menang terhadap agama Islam. Hathib mengatakan, “Aku tidak melakukan hal ini karena membenci Islam dan ridho dengan kekafiran”.

أما إذا فعله علي غير هذا الوجه فإنه يعتبر معصية لا كفرا.
فإن قال قائل: أنا أري أنه كفر و الحاكم الذي فعل هذا سأكفره. فيقال: أقل ما يقال إن في المسألة خلافا. فإذا ثبت أن في المسألة خلافا فالخلاف مانع من تكفير المعين كما تقدم ذكره.

Sedangkan menolong negara kafir tidak sebagaimana di atas maka menolong negara kafir dalam hal ini dinilai sebagai maksiat dan bukan kekafiran.

Jika ada orang yang mengatakan, “Aku berpendapat bahwa sekedar menolong negara kafir dalam hal ini adalah kekafiran sehingga penguasa yang melakukan hal tersebut akan saya kafirkan” maka jawabannya adalah dengan kita katakan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.

هذان مثالان. أما المثال الثالث سأذكر لكم لأنه أظن أن بعضكم قد يشتبه عليه المثال الثاني. قد يقول القائل: على قولك- و إن كان ليس قولي و إنما أنقل-على ما نقلت من أهل العلم إن الأعين لا يكفرون بالمسائل المتنازع فيها يلزم على هذا أن لا نكفر تارك الصلاة.

Itulah dua contoh yang dimaksudkan. Sedangkan contoh kasus yang ketiga itu akan saya sampaikan karena saya memiliki praduga bahwa sebagian kalian tidak bisa memahami dengan baik contoh yang kedua.
Boleh jadi ada yang bertanya, ‘Berdasarkan penjelasan anda tadi -meski sebenarnya itu bukan pendapatku karena aku hanya mengutip pendapat para ulama- atau dengan bahasa lain berdasarkan nukilan dari para ulama yang telah anda bawakan yaitu person tertentu itu tidak bisa dikafirkan dikarenakan masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh para ulama apakah masalah tersebut kekafiran ataukah bukan maka konsekunsinnya kita tidak boleh mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat’.

فيقال: قد أجاب على هذا الإشكال الشيخ العلامة محمد صالح العثيمين- رحمه الله تعالي- فقال: إن الدولة التى شاع بين العامة أن ترك الصلاة كفر كبلاد السعودية فمثل هذه يكفر لأن العام لا يعرف الا هذا القول فكأنما المسألة إجماع المستوطنين.

Jawabannya adalah dengan kita katakan bahwa permasalahan ini telah dijawab oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin. Beliau mengatakan bahwa untuk negara yang di tengah-tengah orang awamnya tersebar pendapat bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran semisal negara Saudi Arabia maka dalam kondisi ini orang yang tidak mengerjakan shalat divonis sebagai orang kafir. Alasannya karena orang-orang awan di negeri tersebut tidak tahu melainkan pendapat ini. Seakan-akan pendapat ini menjadi konsesus warga negara tersebut.

أما الدول الآخر التى شاع فيها خلاف في المسألة فالخلاف مانع من تكفير المعين.
Sedangkan di negara lain yang perselisihan pendapat tentang masalah ini tersebar luas di masyarakat negeri tersebut maka adanya perbedaan pendapat adalah salah satu penghalang vonis kafir untuk person tertentu.

sumber www.ustadzaris.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger