Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Kebenaran Lebih Berhak Untuk Dilaksanakan

Minggu, 11 September 2011

SURATKU UNTUKMU


SURATKU UNTUKMU

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…

Untuk anakku yang aku sayangi di bumi Allah Subhanahuwata’ala, segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah Ta’ala yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya, sholawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Wahai  anakku, ini adalah surat yang penuh luka dari ibumu yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang ibu coba untuk menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu selalu meliputi. Setiap kali menulis setiap itu pula gores tulisan terhalangi oleh tangis dan setiap kali ku menitihkan air mata, setiap itu pula hatiku terluka.

Anakku, setelah usia yang panjang ini kulihat engkau telah menjadi laki-laki yang dewasa, laki-laki yang cerdas dan yang bijak. Karenanya engkau pantas membaca lembaran surat ini, sekalipun kelak engkau akan meremas-remas kertas ini lalu kau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati Ibu dan kau robek pula perasaannya.

Duhai anakku, dua puluh lima tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun yang penuh kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter mengabarkanku bahwa aku hamil, dan semua ibu mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri Ibu, sebagaimana ia adalah awal perubahan fisik dan emosi Ibu. Setelah kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan, akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku padamu, bahkan  ia tumbuh bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu dalam kondisi lemah diatas lemah, akan tetapi aku begitu gembira setiap kali aku merasakan terjangan kakimu atau balikan badanmu diperutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku karena semakin hari semakin bertambah berat perutku berartidengan begitu engkau sehat wal’afiyat dalam rahimku, anakku. 

Sebuah penderitaan berkepanjangan yang mendatangkan fajar kebahagiaan sesudah berlalunya malam pada saat itu. Aku tidak tidur dan tidak pula dapat memejamkan mata sekejappun. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan, rasa takut dan cemas yang tidak bisa dilukiskan dan tidak pula dapat diungkapkan dengan kata-kata. Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis, sebanyak itu pula aku melihat kematian dihadapanku. Hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, maka bercampuraduklah air mata tangisanmu dengan air mata kebahagiaanku. Dengan itu telah sirna seluruh rasa sakit dan pendeitaan yang aku rasakan, bahkan kasihku bertambah dengan bertambah kuatnya sakitku, aku peluk cium dirimu sebelum aku teguk setetes air yang ada di kerongkonganku.

Wahai anakku, telah berlalu tahun dari usiamu, sedangkan aku membawamu dengan hatiku. Aku memandikanmu dengan kedua tanganku dan aku jadikan pangkuanku sebagai bantalmu dan dadaku sebagai makananmu, saripati hidupku kuberikan kepadamu, aku tidak tidur semalaman agar engkau bisa tidur, berletih seharian demi kebahagiaanmu. Harapanku setiap harinya, hanyalah agar aku melihat senyumanmu dan kebahagiaanku setiap waktu adalah agar engkau memintaku sesuatu yang dapat aku lakukan untukmu. Itulah 
puncak dari kebahagiaanku, dihari-hari masa kecilmu.

Sehingga berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti buan, tahun berganti tahun, selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tak pernah berhenti, menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah, mendo’akan selalu kebaikan dan taufik untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari, hingga engkau tumbuh dewasa. Telah tegap badanmu, telah kekar pula ototmu, dan telah nampak jiwa laki-lakimu pada kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu wahai anakku. Tatkala itu, aku mulai melirik kekiri dan kekanan untuk mencarikan pendampingmu, hingga tiba waktunya. Semakin dekat hari pernikahanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu, tatkala itu hatiku serasa teriris-iris, airmataku mengalir, entah apa rasanya hati ini, suka telah bercampur dengan duka dan tengis telah bercampur pula dengan tawa.

Waktupun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah pernikahan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang menjadi pelipur duka dan kesedihanku sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam, tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan kedalam kolam yang hening dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku. Waktu bagiku kini sangatlah lama, hanya untuk melihat rupamu, detik demi detik kuhitung demi mendengar suaramu, akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu bersandar di pinggir pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu yang tak kunjung datang. Setiap kali tertuk pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu, setiap kali telepon bordering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku, setiap kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang. Namun semua itu tidak ada, penatianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping-keping, yang ada hanya keputus asaan dan yang tersisa hanyalah kesedihan dari keletihan yang selama ini kurasakan sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya…

Anakku, Ibumu ini tidaklah meminta banyak dan ia tidaklah menagih kepadamu sesuatu yang bukan-bukan , yang ibu pinta kepadamu, jadikan Ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu, jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu agar bias kutatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu dan Ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan Ibumu, jaganlah kau buang wajahmu ketika Ibu hendak memadangnya. Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah Ibumu sebagai salah satu tempat persinggahanmu agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik, jangan jadikan ia epat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi atau sekiranya engkau terpaksa datang sambil menutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi…….

Anakku, telah bungkuk pula punggungku, bergemetar tanganku karena badanku telah dimakan oleh usia dan telah digerogoti oleh berbagai penyakit, berdiri seharusnya telah dipapah, dudukpun seharusnya dibopong.  Akan tetapi cintaku padamu masih seperti dulu,masih seluas lautan yang tak pernah mengering dan masih pula layaknya angin yang tak kunjung berhenti. Kiranya seorang memuliakanmu satu hari saja, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan Ibumu? mana balas budimu? mana balasan baikmu? Bukankah air susu dibalas dengan balas air serupa? Dan bukan sebaliknya, air susu dibalas degan air tuba? Dan bukankah Allah Ta’ala telah berfirman “ Bukankah balasan kebaikan (tidak lain kecuali) dengan kebaikan yang serupa ? ”. Sampai begitukah keras hatimu dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari serta berselangnya waktu ?

Wahai anakku ketahuilah, setiap kali aku mendengar engkau bahagia dalam hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku, setiap kebahagiaanmu adalah kebahagiaan unukku. Bagaimana tidak, karena engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkau adalah hasil dari keletihanku, engkaulah laba dari semua usahaku. Dosa apakah yang telah kuperbuat, sehingga engkau jadikan aku musuh bebuyutanmu? Apakah aku pernah salah pada suatu hari dalam bergaul denganmu? Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu? Tidak sudikah engkau jadikan aku pembantu yang terhina dari sekian banyak pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah dan kaupun jadikan tempat tinggal untuknya dibawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat baik, yang ibu pinta di hari-hari penghujung ini hanyalah untuk melihat wajahmu dihadapanku meskipun itu adalah wajah masam yang penuh dengan amarah, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Duhai anakku, hatiku terasa teriris dan air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat walafiyat, ibu dengar kau adalah orang yang suplle, dermawan dan berbudi. Anakku, tidakkah tiba masanya hatimu melembut terhadap wanita renta yang binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan? Berbahagiakah engkau yang  telah berhasil membuat air matanya mengalir, Berbahagiakah engkau yang telah membuat luka di hatinya dan engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu yang tepat menghujam jantungnya, serta engkaupun berhasil meutuskan tali silaturahim dengannya.

Aku tidaklah mengeluh dan mengumbar kesedihan. Aku tidak akan angkat keluhan ini kelangit, tidak akan ku keluhkan duka ini kepada Allah. Karena kalaulah itu semua terangkat ke langit dan naik ke pintunya, maka yang akan binasa adalah engkau, engkau akan tertimpa hukuman durhaka terhadap orang tua. Niscaya hukuman akan turun menimpa dirimu dan akan jatuh musibah atas negerimu yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Tidak, aku tidak akan melakukan itu, bagaimana aku melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku, bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tagannya kelangit sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku, engkau adalah kebahagiaan hidupku. Bangunlah nak, bangunlah Wahai anakku inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku denganmu nanti bertemu disana dengan kasih sayang Allah Ta’ala.

Anakku, ingatlah sabda nabimu : “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah, sekiranya engkau menginginkan,  maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah.” (HR. Ahmad)

Anakku, kukenal kau dari dulunya, semenjak engkau telah beranjak dewasa bahwa engkau sangat tamak dengan pahala. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan berjamaah, engkau selalu bercerita kepadaku tentang keutamaan shaf pertama didalam sholat berjamaah, engkau selalu memukakan tentang infaq dan bersedekah. Akan tetapi satu hadits yang kau lupakan nak, satu keutamaan besar yang engkau telah lalaikan, yaitu Abdullah ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihiwasallam: “ Wahai rasulullah, amalan apa yang paling mulia ? Beliau berkata : shalatlah di awal waktu. Lalu aku bertanya lagi : lalu apa ya rasulullah ? beliau berkata : berbakti kepada kedua orang tua. Lalu aku bertanya lagi : lalu apa ya rasulullah ? beliau berkata : jihad di jalan Allah. Lalu beliau diam, sekiranya aku bertanya lagi maka beliau akan menjawabnya. ” (Muttafaqun Alaih).

Wahai anakku, ini aku, ibumu, pahalamu, tanpa peru kau memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak, tanpa engkau harus banyak-banyak bersedekah, aku pahalamu nak. Pernahkah kau mendengar kisah seorang suami yang pergi meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negrinya untuk mencari tambang emas untuk menghidupkan keluarganya? Dia salami satu persatu, dia ciumi istrinya, dia salami anaknya, dia mengatakan “ayahmu wahai anak-anakku, akan pergi kenegri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas. Rumah kita yang reot ini jagalah, ibu kalian yang tua renta ini jagalah.” Lalu berangkatlah ia. Suami yang berharap untuk pergi mendapatkan emas demi untuk membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana dari rumah yang kumuh reotnya, namun apa yang terjadi ? setelah 30 tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanyalah tangan hampa dan kegagalan, ia gagal dalam usahanya, lalu ia pun pulang kekampungnya. Sampailah ia kedusun yang selama ini ia tinggal, apalagi yang terjadi di tempat itu ? kiranya matanya terbelalak ketika sampai di lokasi rumahnya, ia tidak lagi melihat gubuk reot yang ditempati anak-anak dan keluarganya, akan tetapi ia telah melihat sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Ia mencari tambang emas kenegri entah berantah, namun kiranya tambang emas ada di bawah kakinya sendiri. Itulah perumpamaanmu dengan kebaikan wahai anakku. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau lupa bahwa di dekatmu terdapat pahala yang amat besar, disampingmu ada orang yang dapat menghalangimu masuk surga atau mempercepat amalmu duhai anakku. Bukankah ridhaku adalah keridhaan Allah dan bukankah murkaku adalah kemurkaan Allah juga wahai anakku ?

Aku takutkan engkau adalah orang yang dimaksud Rasulullah shalallahu’alaihiwasallam didalam haditsnya : “Celaka seseorang-celaka seseorang ! sahabat bertanya : siapa ya rasulullah ? beliau berkata : seorang yang mendapati kedua orang tuanya, salah satu atau keduanya, akan tetapi tidak dapat membuat ia masuk surga.” (HR. Muslim)

Sadarlah wahai anakku, uban mulai tumbuh dibelakang rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu dan engkau akan menjadi tua renta dan balasan pasti sesuai dengan jenis perbutannya. Aku tidak ingin kelak engkau akan menulis surat dengan air matamu kepada anak-anakmu sebagaimana aku menulis surat ini kepadamu. Dan di sisi Allah akan bertemu orang-orang yang berseteru wahai anakku.

Anakku, bertakwalah kepada Allah, takutlah pada-Nya, berbaktilah pada ibumu. Hentikanlah air matanya dan hiburlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya serta kokohkan badannya yang telah lapuk, sesungguhnya surga ada dibawah kakinya. Anakku, setelah engkau membaca surat ini, maka terserah engkau. Silahkan engkau robek-robek surat ini sebagaimana engkau merobek-robek hati ini. Tapi ketahuilah, “barangsiapa yang menanam maka dialah yang akan menuai.”

Washalallahu’alannabiyyina Muhammadin wa’ala alihi washohbihi wasallam, Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Dari ibumu yang merana yang selalu mencintaimu

Setelah beberapa minggu, maka anaknya pun membalas surat dari ibunya ini. Mau tau bagaimana balasan sang anak ? 
Sumber : 
 
·         kitab Qishash Muatstsirah fii Birru wa 'Uquuqu Al-Waalidain dan telah diterjemahkan dengan judul Andai Kau Tahu Wahai Anakkku, diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
·         Kajian intensif bersama Ustadz Armen Halim Naro yang berjudul Curahan Hati Sang Ibu Untuk Anaknya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger